Senin, 21 November 2011

Sabtu, 26 Maret 2011

Banyak Gadis di Semak-semak ...III

Ku alihkan mataku menuju tumpukan tulisan di atas meja. Tulisan semua hasil penelitianku. Otakku berkata padaku bahwa ini semua dipersembahkannya untukku. Dia berkata bahwa semua ini bisa mengantarku ke Swedia. Ya benar...Swedia tentunya, tempat ilmuwan sedunia berkumpul tiap tahunnya untuk menunjukkan siapa jawaranya. Dan aku lah jawara selanjutnya, kata otakku.
Tak lepas dari tatapanku, sebuah buku hitam tebal serta lebar di atas meja. ”Dinamika Reaktivasi Protein p53 Termutasi pada Residu G245S oleh PRIMA 1”. Itulah disertasiku, oleh-oleh dari German, setahun yang lalu. Itulah yang akan membawakan Nobel ke genggamanku. Terobosan baru dalam penyembuhan sel kanker. Penyakit yang merongrong nyawa ibuku sewaktu aku masih kanak-kanak, sehingga tak lagi bisa kurasakan sentuhannya hingga saat ini, juga merongrong hidup umat manusia di dunia. Inilah masterpice-ku untuk dunia. Berbahagialah kau manusia. Kau dapatkan ini, aku dapat penghargaannya, adil bukan?
”Ohh.....otakku, kamu benar-benar brilian” Mulutku menyanjungnya lagi, kali ini sambil kugeleng-gelengkan kepalaku. ”Aku berterima kasih padamu. Bertahun-tahun kau bekerja keras untukku. Sungguh aku menyayangimu. Kau menjadi candu bagiku, seperti daun mariyuana, kau selalu membuatku orgasme, dan hasratku ingin terus memperkosamu.
Tak lama kemudian otakku membangunkanku. Aku tersentak. Lamunan-ku pecah, dan dia menagihku.
”Maaf.... Baik kita segera kesana”

Dari rumah, kuayunkan kaki beberapa meter ke perempatan jalan di sana. Di sudut perempatan itu teronggok dua rumah besar berdinding tebal, ditengah keduanya tersisa ruang memanjang yang kerap disebut gang. Gang itu cukup sempit. Kata orang, bangunan ini peninggalan kolonial. Kini hanya tersisa sebagai gudang tua milik perusahaan bangkrut. Televisi mengatakan direktur perusahaan ini pergi ke luar negeri dikejar polisi. Namun, entah kemana maling itu lari. Kalau sudah begini, biasanya takkan ada beritanya lagi. Tetapi aku tidak peduli, hal seperti ini sudah sering terjadi. Aku hanya kasihan pada bangunan ini, mungkin lebih tepatnya menyayangkan kekokohannya hanya berakhir seperti ini. Seperti raksasa tua tersia-sia. Sekarat, tidak terawat dan tidak sedap dilihat. Seharusnya bangunan ini bisa dimanfaatkan, paling tidak agar dia tidak tampak kesepian. Jika aku perhatikan lingkungan di sekitar bangunan ini, nampaknya hanya aku yang sering lewat sini. Tidak ada tanda-tanda orang sering berlalu lalang disini, karena aku paham betul detil bangunan ini. Jejak yang aku tinggalkan disepanjang gang seminggu yang lalu pun masih dengan jelas dapat aku lihat. Aku menganggap bangunan tua ini adalah sahabat, mungkin karena aku dan bangunan ini sama-sama kesepian. Maka dari itu aku seperti bisa mengerti keluh-kesahnya. Dindingnya yang kekar seperti merindukan lembutnya belaian tangan manusia. Atapnya seperti kelopak mata yang akan terpejam sempurna. ”Kasihan kamu..., tapi jangan khawatir aku akan lebih sering kesini”, ucapku dalam hati.
Ku tapaki gang sempit diantara kedua bangunan yang lebih mirip barak militer ini. Dindingnya yang dekil, berkerak, dan berlumut kadang harus bergesekan dengan siku tanganku. Kurang lebih 100 meter aku harus melintasi panjang gang ini, baru kemudian bisa terlelepas dari himpitannya, dan memasuki rerumputan tinggi di halaman belakangnya. Dan aku masih berjalan menujunya.

Tinggi rumput-rumput ilalang ini menutupi pandanganku. Oleh karena itu tanganku harus aktif menyibaknya untuk mencari arah jalanku. Tumbuhan liar berduri tak jarang menyayat kulitku. Tapi aku yakin hal itu tak akan membunuhku, maka ku biarkan saja dia merobek kulitku. Perihnya juga akan berangsur-angsur reda, yang kupikirkan dan kuinginkan hanya segera sampai ke sana. Tempat dimana otak-ku bisa bahagia, dan tentunya segera dapat ku balas jasanya. Keinginan untuk segera sampai kesana sangat manjur untuk sekedar membunuh rasa perih oleh goresan duri-duri tumbuhan liar ini. Aku hanya berharap tidak bertemu Kobra atau Sanca, karena itu akan benar-benar mengakhiri hidupku. Mana mungkin aku akan membalas budi baik otakku, kalau hidupku berakhir di ujung taringnya. Maka ku percepat langkahku. Ku julurkan tanganku silih berganti, seperti orang berenang di kolam rumput dan semak-semak. Celah demi celah yang kubuat mengantarkan-ku ke rerumputan yang semakin pendek. Aku kira empat-lima sibakan lagi maka aku sampai di tempat itu.

Bersambung...

Sabtu, 19 Maret 2011

Banyak Gadis di Semak-semak ...II

Aku bangun dari tempatku merebah. Duduk sebentar dan mencoba berdialog dengan otakku yang manja ini. Setelah sepi dalam diam sejenak, aku mulai maklum dengannya. Mungkin memang sudah sepantasnya aku memanjakannya. Apalagi sepulang kerja begini, tentunya dia lelah sebagaimana lelahnya badanku. Tapi ternyata badanku tetap harus tunduk padanya, dan mau tidak mau aku tetap harus ke tempat itu. Lagipula untuk kesana tanpa biaya. Mungkin sedikit mengeluarkan tenaga, Namun tetap tidak sebanding dengan apa yang telah diberikannya. Semua penghargaan di atas meja di ruangan ini kuperoleh dari hasilku memerasnya. Dan mungkin juga seisi ruangan ini. Semua darinya.
”Hmm.....rupanya kerja mu sungguh luar bisa” gumam kepuasanku dalam hati.
Belum aku lekas berdiri, sejenak kutatap foto-foto yang menempel di dinding ruangan ini satu per satu. Foto-foto itu sengaja aku susun berdasarkan urutan waktu. Berderet dan membanggakan hati. Sudah barang tentu hal itu membuat otakku protes, pikirnya enak benar jadi hati. Otak yang bekerja, tapi hati yang berbangga.
Dari salah satu foto-foto itu kulihat orang nomor satu di negri ini sedang mengalungkan medali ke leherku. Badanku membungkuk dan dia mengalungkannya. Ohh.. alangkah senangnya. Mungkin sebentar lagi fotoku dari Swedia akan menambah deretan gambar-gambar di dinding itu. Semua itu sudah kurasakan begitu dekat. Dan aku sudah menantikannya begitu lama.
”Aku pasti ke Stockhlom!”Mulutku berucap lagi, kali ini mewakili berkobarnya keyakinan dalam diriku.
Nobel di bidang Biologi. ”Sebentar lagi kau pasti jadi milikku”. Namaku akan terpahat dalam buku. Kelak, anak-anak akan bermimpi menjadi seperti aku. Seperti masa kecilku, yang bermimpi menjadi Edisson penemu lampu yang termashur itu. Aku pikir itu akan sangat memuaskan. Adakah lagi yang dicari ilmuwan di dunia ini? Sudah pasti adalah “penghargaan”. Sebuah omong kosong jika ilmuwan hanya mencari teknonogi. Penghargaan dan pengakuan umat manusia itulah tujuan utama. Teknologi mungkin hanya efek samping dari ambisi para ilmuwan dalam mencari penghargaan itu. Kebanggaan tetap nomor satu. Bagiku pun demikian. Predikat ilmuwan terlanjur melekat dalam jiwaku. Dan memang sedari kecil aku ingin menjadi seperti sekarang ini. Sebagai ilmuwan saat ini semua telah kuperoleh. Namun jiwaku berkata bahwa semuanya kurang lengkap tanpa Nobel. Dan otakku akan sangat merasa berdosa sebelum mendapatkan itu. Bahwa me-mubadzir-kan anugerah Tuhan yang diberikan pada ku, yaitu tajamnya otakku, adalah hal yang memalukan. Maka aku harus meraihnya. Aku pasti meraihnya. Walaupun aku tahu, tidaklah mudah bagiku. Aku harus keluar dari negara ini. Kehausanku akan penghargaan ilmiah tidak mungkin aku obati di sini. Di negaraku orang lebih suka berlomba mengisi perut daripada mengisi otak. Bisa jadi kini berkas skripsi ku, hanya berakhir sebagai bungkus tempe di pasar pagi. Mau tidak mau aku harus pergi. Aku ingin melihat dunia lebih luas lagi.

Bersambung..

Minggu, 13 Maret 2011

Banyak Gadis di Semak-semak ...I

story by : Misbakhul Munir, Sembawa, 31 Desember 2009 – 1 Januari 2010

Aku letakkan tasku di atas meja dengan setengah melempar, lalu aku duduk dan ku hela napasku dalam-dalam. Hari ini terasa begitu berat. Seperti ada sesuatu yang ingin ku keluarkan dari rongga dadaku ini, karena telah sedemikian sesaknya. Paling tidak, aku ingin diujung sore ini aku bebas dari segala beban. Tetapi ternyata memang tak semudah yang kuinginkan.
Mataku menerawang kosong, menembus batas-batas ruangan ini. Ruangan berukuran 4 meter kali 5 meter ini, aku menyebutnya kamar. Tetapi bukan kamar dimana hanya tempat untuk meletakkan badanku di malam hari, tetapi juga ruang untuk menuangkan ide-ide cemerlangku ke dalam rancangan-rancangan penelitianku selama ini, karena itulah kerjaku setiap hari.
”Hhh...panas benar hari ini” mulutku berucap, dan jari-jariku tanpa diperintah menggapai remote penyejuk ruangan dan menyalakannya pada suhu minimum.
Setelah lelah telinga mendengar renyahnya hiruk pikuk keramaian dan mencium carut marutnya aroma di dalam bus kota selama perjalananku pulang dari tempat kerja, kamarku ini memang tempat pelampiasan yang paling cocok untuk menurunkan tensi emosiku.
Aku ingin hempaskan segala penat sebagaimana ku hempaskan badanku di atas kasurku yang empuk ini. Dan seperti biasa, saat-saat seperti ini, selalu saja otak-ku menyeret hasratku ke suatu tempat. Tempat yang tak pernah bosan dipikirkannya. Sepulang kerja begini ia selalu bertingkah seperti bayi, yang merengek ingin menethek. Mungkin sudah menjadi jam biologis-nya, hingga mau tak mau kaki ini harus segera kulangkahkan kesana. Pastinya ketempat itu.
”Baiklah sayang, kita akan segera kesana…..” Begtulah kira-kira ungkapan mulutku mewakili diriku, untuk menenangkan otakku yang rewel ini.
Kadang aku tidak mengerti, apa yang menarik dari tempat itu, sampai-sampai otakku selalu meronta ingin kesana, terlebih sore ini. Aku merasa hari ini dia sangat memaksa. Hal ini sudah terasa sejak aku masih ditempat kerja tadi. Bayanganku selalu ke tempat itu. Padahal di tempat itu tidak ada yang menonjol sama sekali. Mungkin memang benar disana sepi dan pohon-pohon masih kokoh berdiri. Dan mungkin tidak salah jika hal itu membuat atmosfirnya dipenuhi oksigen. Aku kira oksigen itulah yang dibutuhkannya saat ini. Aku ingat teori yang kudapat sewaktu di Sekolah Menengah Pertama, bahwa setiap sel memerlukan oksigen. Pastilah setiap sel tubuhku membutuhkan oksigen. Apalagi sel otakku ini. Tiap hari ku jejali dengan banyak hal, mulai dari yang ideal, rasional, nalar sampai ke hal yang absurd dan bahkan tak senonoh.
Mungkin itulah maksud otakku. Dia ingin memenuhi kebutuhannya, seperti perut mencari nasi diwaktu lapar. Alangkah bedebahnya jika tak ku kabulkan keiginannya. Tiap hari ku pekerjakan dia, kuperas, bahkan sering kuperkosa. Jika aku tak memberikan kebutuhannya, maka orang macam apa aku ini.

Bersambung......

Sabtu, 26 Februari 2011

Goresan

Di ujung penantian yang tiada pasti....
Mencoba berjalan tanpa meninggalkan jejak..
Berusaha menebarkan harum di setiap dimensi ruang...
Tapi... selalu saja ada yang tak tersentuh...

Ingin bisa merengkuh semua...
Hingga tak ada lagi yang merasakan getir dan pahitnya tersisih...
Mungkin memang harus demikian...
Karena goresan yang tertoreh...
akan meninggalkan kisah....
membentuk idealisme bagi pemiliknya

Rabu, 04 Agustus 2010

Kepercayaan





Setiap orang terlahir suci, seiring berjalannya waktu, mereka bertumbuh dengan cara masing-masing, sehingga mereka pun berbeda....Oleh karena itu masing-masing individu sangat unik.....

Setiap orang ingin di cintai dan mencintai, berada di lingkungan yang di percayainya... sehingga mereka merasa aman... dan tak perlu mengkhawatirkan apapun....
Apakah diri ini yang terlalu naif....

Entahlah.....

Dalam hati yang terdalam, hanya ingin berpikiran positif terhadap semua orang, karena mereka hanyalah manusia biasa, yang penuh kekurangan begitu juga diri ini....

Tetapi sudahlah....waktu tidak mungkin bisa di putar kembali...
Mudah-mudahan seiring berjalannya waktu akan mengembalikan kepercayaan seperti sedia kala...

Jumat, 23 Juli 2010

Musibah





Kita tidak pernah tahu....
kesedihan, kebahagiaan yang menghampiri kita, entah nanti, esok atau lusa, tidak bisa di prediksi, semua datang silih berganti..

Apakah semua itu patut di sesali? "TIDAK"
semua itu adalah proses di mana Tuhan memberikan cobaan untuk menguji, sampai dimanakah kadar keimanan kita...

Terkadang ego yang membuat diri merasa lebih dari yang lain, luluh lantah, ketika dihadapkan dengan situasi yang menghempaskan ke dasar lembah

Untunglah di saat seperti itu ada akar menyembul yang bisa di jadikan pegangan, hingga ada harapan, ya harapan untuk bisa berpijak ke tanah tanpa kesakitan

Terimakasih...
karena Engkau masih melindungi diri ini yang terkadang lupa mengingat-Mu......

Terimakasih....
karena Engkau masih menyayangi dan mengasihi diri ini yang terkadang memiliki ego untuk mendekat kepada-Mu...

Terimakasih....
Atas apa yang telah Engkau ajarkan sehingga bisa bertumbuh menjadi sekarang ini....