Ku alihkan mataku menuju tumpukan tulisan di atas meja. Tulisan semua hasil penelitianku. Otakku berkata padaku bahwa ini semua dipersembahkannya untukku. Dia berkata bahwa semua ini bisa mengantarku ke Swedia. Ya benar...Swedia tentunya, tempat ilmuwan sedunia berkumpul tiap tahunnya untuk menunjukkan siapa jawaranya. Dan aku lah jawara selanjutnya, kata otakku.
Tak lepas dari tatapanku, sebuah buku hitam tebal serta lebar di atas meja. ”Dinamika Reaktivasi Protein p53 Termutasi pada Residu G245S oleh PRIMA 1”. Itulah disertasiku, oleh-oleh dari German, setahun yang lalu. Itulah yang akan membawakan Nobel ke genggamanku. Terobosan baru dalam penyembuhan sel kanker. Penyakit yang merongrong nyawa ibuku sewaktu aku masih kanak-kanak, sehingga tak lagi bisa kurasakan sentuhannya hingga saat ini, juga merongrong hidup umat manusia di dunia. Inilah masterpice-ku untuk dunia. Berbahagialah kau manusia. Kau dapatkan ini, aku dapat penghargaannya, adil bukan?
”Ohh.....otakku, kamu benar-benar brilian” Mulutku menyanjungnya lagi, kali ini sambil kugeleng-gelengkan kepalaku. ”Aku berterima kasih padamu. Bertahun-tahun kau bekerja keras untukku. Sungguh aku menyayangimu. Kau menjadi candu bagiku, seperti daun mariyuana, kau selalu membuatku orgasme, dan hasratku ingin terus memperkosamu.
Tak lama kemudian otakku membangunkanku. Aku tersentak. Lamunan-ku pecah, dan dia menagihku.
”Maaf.... Baik kita segera kesana”
Dari rumah, kuayunkan kaki beberapa meter ke perempatan jalan di sana. Di sudut perempatan itu teronggok dua rumah besar berdinding tebal, ditengah keduanya tersisa ruang memanjang yang kerap disebut gang. Gang itu cukup sempit. Kata orang, bangunan ini peninggalan kolonial. Kini hanya tersisa sebagai gudang tua milik perusahaan bangkrut. Televisi mengatakan direktur perusahaan ini pergi ke luar negeri dikejar polisi. Namun, entah kemana maling itu lari. Kalau sudah begini, biasanya takkan ada beritanya lagi. Tetapi aku tidak peduli, hal seperti ini sudah sering terjadi. Aku hanya kasihan pada bangunan ini, mungkin lebih tepatnya menyayangkan kekokohannya hanya berakhir seperti ini. Seperti raksasa tua tersia-sia. Sekarat, tidak terawat dan tidak sedap dilihat. Seharusnya bangunan ini bisa dimanfaatkan, paling tidak agar dia tidak tampak kesepian. Jika aku perhatikan lingkungan di sekitar bangunan ini, nampaknya hanya aku yang sering lewat sini. Tidak ada tanda-tanda orang sering berlalu lalang disini, karena aku paham betul detil bangunan ini. Jejak yang aku tinggalkan disepanjang gang seminggu yang lalu pun masih dengan jelas dapat aku lihat. Aku menganggap bangunan tua ini adalah sahabat, mungkin karena aku dan bangunan ini sama-sama kesepian. Maka dari itu aku seperti bisa mengerti keluh-kesahnya. Dindingnya yang kekar seperti merindukan lembutnya belaian tangan manusia. Atapnya seperti kelopak mata yang akan terpejam sempurna. ”Kasihan kamu..., tapi jangan khawatir aku akan lebih sering kesini”, ucapku dalam hati.
Ku tapaki gang sempit diantara kedua bangunan yang lebih mirip barak militer ini. Dindingnya yang dekil, berkerak, dan berlumut kadang harus bergesekan dengan siku tanganku. Kurang lebih 100 meter aku harus melintasi panjang gang ini, baru kemudian bisa terlelepas dari himpitannya, dan memasuki rerumputan tinggi di halaman belakangnya. Dan aku masih berjalan menujunya.
Tinggi rumput-rumput ilalang ini menutupi pandanganku. Oleh karena itu tanganku harus aktif menyibaknya untuk mencari arah jalanku. Tumbuhan liar berduri tak jarang menyayat kulitku. Tapi aku yakin hal itu tak akan membunuhku, maka ku biarkan saja dia merobek kulitku. Perihnya juga akan berangsur-angsur reda, yang kupikirkan dan kuinginkan hanya segera sampai ke sana. Tempat dimana otak-ku bisa bahagia, dan tentunya segera dapat ku balas jasanya. Keinginan untuk segera sampai kesana sangat manjur untuk sekedar membunuh rasa perih oleh goresan duri-duri tumbuhan liar ini. Aku hanya berharap tidak bertemu Kobra atau Sanca, karena itu akan benar-benar mengakhiri hidupku. Mana mungkin aku akan membalas budi baik otakku, kalau hidupku berakhir di ujung taringnya. Maka ku percepat langkahku. Ku julurkan tanganku silih berganti, seperti orang berenang di kolam rumput dan semak-semak. Celah demi celah yang kubuat mengantarkan-ku ke rerumputan yang semakin pendek. Aku kira empat-lima sibakan lagi maka aku sampai di tempat itu.
Bersambung...